Kumpulan Puisi dan cerpen

" Kugulung Rinduku di pantai dok dua " (Jiki Ramdani)

Mutiara di Pantai Meulaboh 1-3

Oleh : Jiki Ramdani
1
Meskipun tsunami telah berlalu namun bagi cut muetia, gadis cilik yang baru saja menginjak usia enam tahun, sulit sekali untuk bisa melupakan tentang peristiwa tragis itu, begitu dahsyat, sebuah cerita nyata yang begitu memilukan yang berakhir dengan kehancuran, sampai kapanpun ia tak bisa melupakan tragedy itu, setiap saat ia memandang lautan dan mendengar deru ombak yang menggulung-gulung itu, ia jadi sedih, terkadang timbul rasa takut dan keberanianya lenyap. Tapi dia anak yang istimewa, ia masih menyempatkan diri bermain ditengah kota yang hancur kacau balau, bermain dengan riangnya, dengan kehampaan dan kekosongan. Dibibirnya yang mungil merekah dan merona, sebuah warna yang pekat mengoles disudut bibirnya, ia bergumam sembari melantunkan lagu Bungong Jeumpa, suaranya begitu nyaring dan halus, burung-burung yang melayang diangkasa segera mengikuti irama lagu itu.
Tiba-tiba meutia terhenti, mulunya merapat dan ia segera menolehkan kepalanya, dua buah bola matanya yang berbinar memancarkan kebekuan yang mendalam.
Kedatangan nenek tua itu sempat membuat meutia terkejut, nenek tua itu mengembangkan seulas senyuman yang ramah, meutia menyambutnya dengan gelak.
“kau sedang apa anak kecil yang manis?” nenek tua itu meraih tangan meutia yang mungil. Disikut kanannya terbentang sebuah garis luka yang telah mengering, kelihatannya cukup parah, nenek tua itu hanya bisa menatapnya dengan kesedihan, meutia menarik tangannya, ia mengelus sikutnya disertai desah tangis, ia merasakan perih, tapi nenek tua itu hanya tercengang menatap pemandangan ini “ tanganmu kenapa? Apa masih terasa sakit?”
Meutia menggelenggelengkan kepalanya, air matanya berurai membanjiri kedua pipinya, ia menggigit bibir, katanya “sakit sekali…tia sakit nek…tia rindu bapak dan ibu…tia rindu mereka” meutia tak kuasa melanjutkan kalimatnya, kepedihan, kekosongan, kesedihan serta kehampaan kenapa harus terjadi pada gadis sekecil meutia, dengan naluri keibuannya nenek tua itu membiarkan kepala meutia bersandar didalam pelukannya, meutia terus saja menangis, mungkinkah ini sisa airmata kepedihan itu, dilihatnya wajah meutia, wajahnya mengkerut, nenek tua itu memahami arti yang tersirat didalam raut wajah meutia.
Nenek itu bagaimana bisa melontarkan bertumpuk pertanyaan kepada gadis mungil yang berada dalam pelukannya, kondisi seperti inilah yang telah membelenggu mulut dan alisnya, rasanya lidah dan gigi ini sangat sulit digerakkan. Nenek tua itu menerawang jauh ke awing-awang, jauh menembus kabut putih yang menggumpal dan lebih jauh dari lapisan langit, yang terpampang didepan kedua matanya adalah sehamparan ketidakberdayaan, keinginan dan harapan yang terus saja meluap-luap. Hari masih panjang, masih banyak kesempatan untuk merajut harapan dan cita-cita, masih bisakah meutia bermimpi?

2
Meutia kembali ke kamp pengungsian, ia berjalan sendiri, ditolehkan kepalanya kebelakang, tampak wajah nenek tua itu tengah berdiri menatapnya dengan kekosongan, kulinya yang keriput tersimpan perjuangan hidup yang begitu berat, ia telah melalui kehidupan ini dengan bersabar, sinar matanya yang setengah redup memancarkan keinginan untuk mencicipi kebahagiaandiusianya yang sudah senja ini, anak dan cucunya entah berada dimana?
Meutia berjalan, nenek tua itu tetap diam, setelah sampai dihadapan nenek tua itu, meutia membiarkan dirinya agar dipeluk dengan sangat erat, tapi kedua tangan nenek tua itu seakan tak bertenaga, meutia memeluk nenek tua itu, layaknya seorang cucunya sendiri” nek” desahan yang meluncur dari sudut bibirnya telah mengguncangkan alam sadar nenek tua, setelah mendengar kata “nek” ia seakan menerima energy baru, seakan seluruh anak dan cucunya memanggilnya, dengan amat lembut, namun ia juga menyadari suara itu timbul dari seorang anak kecil yang malang ini, bukan dari cucu-cucunya.
“siapa namamu?”tiba-tiba nenek tua itu bertanya dengan penuh keheranan lalu disambung dengan seulas senyuman yang hangat.
“Cut Meutia” jawab meutia tanpa basa-basi dan panjang lebar, “nenek dari mana, di kamp pengungsian meutia tidak pernah melihat nenek”
“nenek dari meulaboh..” nenek menunduk lalu melanjutkan kata-katanya” nenek sangat menyesal saat itu kenapa nenek harus pergi ke pasar, seharusnya nenek tinggal dirumah bersama cucu-cucu nenek, andai saja nenek tidak pergi saat itu, mungkin nenek sudah tidur panjang saat ini, nenek ingin mati saja..” nenek tua itu menitikkan airmatanya “ nenek sendiri, nenek kehilangan cucu-cucu dan anak-anak nenek, tsunami telah memisahkan kami, dimana ya mereka sekarang, rasanya seluruh kota Aceh sudah nenek telusuri tetapi tetap saja nenek tidak menemukan mereka” bulir-bulir air matanya jatuh meluncur, isak tangisnya terpendam, desahan nafasnya membentuk syair lagu sendu, begitu menyayat hati dan rasa.
“meutia juga kehilangan ayah dan ibu, sekarang meutia jadi yatim piatu, begini saja, maukah kita saling mengangkat…” kata-katanya terhenti, dan nenek tua itu tahu ini bukan kalimat penutup tapi ia tak sabar ingin mendengar kalimat selanjtnya, nenek tua itu mendengarkan dengan seksama “ kita saling mengangkat nenek dan cucu, bolehkan meutia memanggil nenek dan nenek boleh memanggil meutia cucu nenek” jawaban inilah yang dinanti nenek tua itu, ia bahagia, semangatnya yang redup tiba-tiba bangkit, tangannya tak sabar ingin mendekap gadis mungil ini.
Dan sekarang ia ingin hidup lebih lama, menikmati sisa kehidupannya dengan memberikan perhatian kepada cucu barunya, rasanya dunia yang dipijaknya bukan dunia dulu tetapi dunia baru dengan kehidupan yang baru.
Malampun tiba, senja telah larut, jubah malam yang hitam pekat menyelimuti langit yang kelam, meutia tidur bersama nenek tua di kamp pengungsiaan, keduanya saling mengenang, mata seolah tak ingin terpejam, didalam tidurnya meutia bermimpi, disana ada ayah dan ibu, ayah menggendong meutia, sisa kenangan yang masih dapat dirasakan kini adalah kehangatan saat digendong ayah, rasanya hidup ini penuh arti, namun tiba-tiba ada sekelebat bayangan tentang tsunami, kebahagiaan itu pun lenyap, debur ombak yang tinggi, orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri, semuanya itu berayun-ayun tiada henti didalam benaknya kini, tanpa sadar ia pun menangis, nenek tua yang belum tidur, terkejut menyaksikan semua ini, didalam mimpi ia pun menangis. Nenek tua itu menengadahkan kepala dan membathin “ apa yang sedang difikirkannya sekarang? Pasti dia sedang bemimpi sedih, owh cucuku yang malang”. Nenek tua itu pun mengenang, membayang dan perlahan larut dalam kepedihan, ia menyeka air matanya, berusaha bangkit dari kondisi seperti ini. Tidak, tidak boleh, aku tidak boleh membiarkan cucuku melihatku menangis.
3
Pagi-pagi sekali setelah shalat shubuh, nenek dan meutia pergi ke pinggir pantai meulaboh, lalu berjalan melewati tumpukan bangunan yang rusak, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah sebuah kehancuran, sebaris kenangan menguntai disetiap sudut kota dan jalan, keduanya tak bercakap, berdiri mematung, tatapannya penuh kekosongan, rasanya setiap kaki ini melangkah sama seperti melewati ribuan kisah yang tersusun indah didalam nostalgia kehidupan dan semua itu dapat terbaca lewat puing-puing yang berserakan dimana-mana.
Mereka berdua, bercanda, tertawa dan bermain, keduanya berusaha saling mengobati luka, saling memberikan cinta dan kasih sayang, saling mengisi kekosongan diri. Tiba-tiba ada beberapa anak kecil dating, mereka melebur bersama meutia dan nenek menjadi satu. Mereka bermain bersama-sama, dibalik wajah-wajah penuh sendu itu tersurat sebuah keinginan untuk memiliki cinta dan kasih sayang.
Ketika meutia memalingkan wajahnya, ada seorang anak yang duduk sambil memeluk kedua lututnya, wajahnya basah oleh airmata, anak itu duduk diantara puing-puing, tanpa fikir panjang meutia berlari menemuinya” bermainlah dengan kami” muetia mengulurkan kedua tangannya, anak itu mengangkat wajahnya, lalu berkata”teman, aku kangen sama ibu, bagaimana bisa bermain”katanya sambil terus menangis.
“lihatlah mereka”meutia menunjuk ke arah sana, “ mereka tertawa riang, bermain bersama, meskipun mereka telah menjadi yatim piatu, mereka berusaha menghibur diri, temanku, bergabunglah bersama kami”
Melihat keteguhan, keberanian, ketabahan dan kesabaran yang terpancar dari semangat jiwa didalam diri meutia, anak itu tak ragu lagi untuk mengikuti ajakan meutia dan dengan cepat anak itu melebur bersama mereka, anak itu begitu lugu dan manis. Cepat sekali ia melupakan kesedihannya, tawa dan canda meluap-luap jadi satu, masih bisakah esok pagi mereka seperti itu?
Dibawah siraman sinar matahari yang membakar kulit, anak-anak itu bernyanyi dengan riang, meutia dan nenek pun turut bernyanyi bersama :
Kapal layar dating dari utara
Hati riang dan gembira
Didermaga, kami menanti ayah dan ibu dating
Jangan menangis sayang
Jangan bersedih sayang
Bergembiralah sayang
Kita bersama merajut mimpi
Mari kita bersama, saling menggenggam tangan

0 komentar:

Posting Komentar

jiki ramdani

jiki ramdani

salam

"namamu selalu basah oleh airmataku ketika kuungkit dalam doa-doaku..)" ( jiki ramdani)